Kumpulan Cerpen
Rumah
Kawin
Post: 04/06/2003 Disimak: 250 kali
Cerpen: Zen Hae
Sumber: Kompas, Edisi 04/06/2003
LAGU Cente Manis baru saja berakhir dari mulut
Gwat Nio. Para wayang cokek sudah mengosongkan kalangan. Para panjak mulai
membereskan alat musiknya masing-masing. Tetapi Mamat Jago masih saja berdiri
sambil memeluk Sarti di tengah kalangan. Tangannya terus meremasi pantat Sarti
dan menyorongkan mulut monyongnya ke mulut wayang bermata burung hantu itu.
Sarti melengos dan berusaha mendorong tubuh Mamat Jago sekuat tenaga, tetapi
dengan cepat Mamat Jago meraih tangan Sarti dan melipatkannya ke pinggangnya.
Kali ini Mamat Jago menggoyang-goyangkan pinggangnya sambil terus menekan
pantat Sarti. "Aih, jangan tinggalkan abang, manis. Jangan pampat kawah
yang mau meledak ini. Ooohh ….Heh, panjak, gesekin gua lagu Ayam Jago. Gua mau
ngibing lagi."
TUKANG teh yan celingukan, juga pemain musik
lainnya. Ini sudah jam dua pagi. Sudah waktunya rombongan Gambang Kromong
Mustika Tanjung pimpinan Tan Eng Djin dari Teluk Naga berhenti main. Izin
keramaian yang mereka dapatkan dari keamanan setempat hanya sampai pukul satu.
Sudah lewat satu jam.
"Heh, budek lu. Gua masih banyak duit.
Gua mau nyawer lagi," teriak Mamat Jago sambil menuding-nuding para panjak
yang masih saling bersambut pandang.
Sarti kembali mengibaskan tangannya. Menarik
tubuhnya dari pelukan Mamat Jago yang kian sempoyongan. Terlepas. Sebagai
gantinya satu tamparan Mamat Jago mendarat di pipinya. "Sundal lu!"
maki Mamat Jago sambil melempar cukin merah hati ke wajah Sarti. Sambil
meringis dan meme-
PEGANGI pipinya Sarti berlari ke arah wayang
lain yang sejak tadi hanya bisa memandanginya dengan cemas.
Ini sudah kelewatan, pikir Eng Djin. Anak
buahnya memang boleh dipeluk, dicium, atau dibawa ke mana saja, tetapi pantang
disakiti. Ia pun keluar dari sela-sela gong dan menghampiri pengibing mabuk
itu. Merendengnya. "Maaf, kami harus berhenti, Bang. Kalau tidak cokek ini
bisa digerebek polisi."
"Jangan takut, Koh. Mereka semua teman
saya. Ayo, main lagi. Saya akan mati kalau gambang berhenti. Ayo, panjak…"
Bang Minan mulai menggesek teh yan-nya, tetapi
segera Eng Djin menggoyang-goyangkan tangan kirinya. Sepi. "Mendingan
abang pulang saja. Jangan bikin perkara…"
"Sial dangkalan lu," maki Mamat
Jago. Dengan sisa tenaganya disodoknya perut Eng Djin, tetapi ia menepiskan
tangan itu. Mamat Jago balas menyerang dengan pukulan siku yang
diruncingkan-gentus tubruk. Eng Djin jatuh terduduk. "Engkoh jangan
melecehkan saya. Saya juwara kampung. Jago berantem. Semua orang bisa saya
bikin takluk."
Eng Djin bangkit dan mundur selangkah.
Dipandanginya kepalan tangan Mamat Jago yang padat berisi. Empat belas jurus
ilmu pukul memang masih dikuasainya, tetapi ia sadar, tidak mungkin menandingi
kemahiran pukulan jawara kampung Rawa Lingi ini. Namun, ia akan melawan
sebisanya kalau Mamat Jago melancarkan pukulan lagi. Itulah cara ia
mempertahankan harga dirinya di depan anak buahnya. Ternyata, tidak. Mamat Jago
hanya memasang jurus. Kuda-kudanya kelihatan goyah. Tubuhnya sedikit goyang.
Tiba-tiba, dua orang berjaket kulit hitam, si
gondrong dan si cepak, masuk ke kalangan. Eit, Mamat Jago mengalihkan
kuda-kudanya ke arah dua orang asing itu. Mencoba lebih awas, ia kibas-kibaskan
kepalanya. Si gondrong lantas mencabut revolver dari balik jaketnya dan
mengacungkannya ke udara. Orang-orang terkesiap. "Bapak-ibu saya minta
berhenti. Bubar!" perintahnya. Dengan sigap si cepak mencekal tangan Mamat
Jago, memitingnya, memborgolnya, dan menyeretnya seperti sekarung tahi ayam.
Entah sudah berapa Lebaran lewat setelah
penangkapan itu. Sudah lama sekali, gumam Mamat Jago. Saat itu dengan mudah ia
masuk-keluar sel. Ditangkap malam keluar pagi, ditangkap pagi keluar sore,
ditangkap sore keluar malam. Anak-anak buahnya akan mengantarkan uang tebusan,
tak lama setelah ia digelandang polisi. "Polisi teman abang," katanya
berkali-kali kepada anak buahnya. Setelah itu ia akan dengan leluasa datang
lagi ke rumah kawin, ngibing dan minum, membuat keributan bila perlu.
Tetapi, itu dulu. Ketika kekayaan dan
kehormatan didekapnya dengan dua tangan. Ketika bisnis penjualan kebun dan
sawah di kampungnya sedang ramai-ramainya. Setiap saat orang datang dan pergi
dari rumahnya. Membawa dan mengambil uang. Pekerjaannya sebagai calo tanah
sangat sibuk kala itu. Pernah suatu ketika anak buahnya harus memanggul
berkarung-karung uang ke rumahnya untuk membebaskan berhektar-hektar sawah yang
kini menjadi bandar udara itu. Orang-orang kampungnya pernah berkata, ia tidur
bukan di atas kasur kapuk, tetapi di atas kasur uang.
Sekarang ini semuanya sudah lain. Kekayaan dan
kehormatannya rontok sudah, seperti pohon kelapa disambar petir. Meranggas dan
mati. Tanahnya yang dulu hektaran kini hanya tinggal sepekarangan saja, menciut
bagai kelaras terbakar. Di atasnya berdiri rumah yang dulu pernah menjadi rumah
termegah dan termahal di kampungnya-kini sudah menjadi sarang kumbang, ngengat,
dan laba-laba. Kosong, kusam, sepi. Mobil, motor, dan kerbaunya sirna tak
berbekas. Anak buahnya yang berjumlah puluhan sudah pergi meninggalkannya,
entah ke mana. Masroh, istri yang tak pernah lagi disentuhnya sejak terkena
TBC, wafat dua tahun lalu. Tiga anak perempuannya sudah dibawa suami mereka ke
kota lain. Menjadi orang rantau. Satu anak lelakinya menjadi pengojek untuk
menghidupi istri dan empat anaknya. Hanya ia dan si bungsu yang tinggal di
situ.
Ah, betapa perihnya kehilangan ini, keluhnya.
"Apa ada obatnya?"
Pekerjaan sebagai calo tanah sudah tidak
dilakoninya lagi. Tidak ada lagi orang yang mau menjual kebun dan sawahnya.
Tanah warisan mereka sudah habis terjual, tinggal yang kini mereka tempati. Dan
itu tak mungkin mereka jual, kecuali kalau mereka mau menjadi gelandangan di
kampung sendiri. Lahan-lahan yang tadinya menjadi sumber penghidupan mereka
kini sudah berubah fungsi. Ratusan hektar sawah itu sudah dibikin rata tanpa
pematang dan diberi pagar besi setinggi dua meter di tepinya. Di tengahnya
membujur dua jalur landasan beton, dari barat ke timur. Ia dan orang kampungnya
hanya bisa memandangi pesawat terbang yang lepas landas dan mendarat, hanya
mereka yang pernah naik haji mampu menaikinya. Di malam hari pesawat-pesawat
itu berubah menjadi kunang-kunang raksasa yang tubuhnya tetap berkelap-kelip
meski melayang di batas langit terjauh.
Pabrik-pabrik juga sudah beroperasi, siang dan
malam. Siapa pun orang terkaya di kampungnya tidak mungkin membangun dan
memiliki pabrik-pabrik itu. Mereka hanya petani penggarap dan pedagang kecil,
tidak mungkin menguasai bisnis dan teknologi perpabrik- an secanggih itu. Tapi,
anak-anak mereka, lelaki dan perempuan, si bungsu juga, senantiasa
berbondong-bondong, keluar masuk pabrik, dengan seragam yang sama. Mereka sudah
menjadi manusia pabrik yang mau tidak mau dibayar murah oleh tauke-tauke dari
Korea, Jepang, dan Taiwan.
Rumah-rumah mewah juga sudah dibangun dan
ditempati orang-orang yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya. Mereka memang
tidak mampu membeli dan menempati rumah mahal itu, tetapi mereka masih bisa
menjadi pengojek di perumahan itu dengan motor yang dibeli dari hasil menjual
tanah warisan mereka. Mereka masih bisa menikmati jalan aspalnya yang
lurus-menyiku, sungai kecil yang jernih dan dibeton tepinya, taman yang indah,
sambil memandangi rumah-rumah besar dengan pintu dan jendela yang melengkung.
Ya, gonggong anjing, tentu saja.
Ah, betapa menyesakkan kekalahan ini,
keluhnya. "Aku butuh obat."
Ia menarik napas dalam-dalam. Aroma tanah
basah dibawa angin selatan melintasi padang ilalang setinggi pinggang. Hujan
akan segera turun. Musim penghujan sudah tiba dan akan makin tinggi curahnya
menjelang Tahun Baru Imlek! Ya, musim kawin orang Cina akan tiba juga.
Rumah-rumah kawin di Kampung Melayu, Kosambi, Salembaran, dan Sewan akan ramai
lagi. Ia rindukan semua itu.
Ia datangi lagi rumah kawin "Teratai
Putih". Semuanya masih seperti dulu. Orang-orang menyingkir begitu ia
melintas. Dipasangnya langkap tegap seorang jawara kampung. Hanya di sinilah
aku bisa menikmati lagi seluruh kesenangan dan kehormatan hidupku, pikirnya.
Bukankah sudah bertahun-tahun belakangan ini ia tidak menikmati dua hal itu
lagi. Ya, di sinilah orang akan memuji kelihaiannya ngibing yang dipadu dengan
keindahan jurus-jurus pukulnya, kekuatannya menenggak berbotol-botol bir campur
anggur, keroyalannya nyawer. Dan tubuh wayang yang panas dan memabukkan! Liukan
dan goyangan yang membangkitkan syahwat! Aih, lelaki mana yang bisa tahan.
Cukin merah hati sudah dikalungkan tukang
cukin ke lehernya, tanda ia harus turun ke kalangan, memilih wayang mana yang
ia suka. Ditatapnya Sarti yang sejak tadi duduk di pojok. Kali ini ia memakai
kaus biru bergambar matahari di dadanya dan celana capri krem. Dengan pakaian
itu ia tampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Sedikit gemuk membuat
lekukan-lekukan tubuhnya tampak nyata dibalut pakaian yang serba ketat itu.
Darahnya berdesir. Ditariknya tangan wayang langganannya itu. Pengibing dan
wayang lain sengaja hanya menonton, memberi penghormatan atas kembalinya si
raja ngibing dari Rawa Lingi itu. Mamat Jago tersenyum bangga. "Ayo,
panjak, gesekin gua lagu Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."
Teh yan digesek, disusul gambang, kecrek,
gong, suling, dan kempul. Susul-menyusul. Jalin-menjalin. Gwat Nio sudah melantunkan
suaranya yang garing-melengking seperti suara burung titutit. Tapi Sarti tidak
juga menggoyangkan tubuhnya. Tangannya dibiarkan terkulai. Mamat Jago
meraihnya, melipatkannya ke pinggangnya, merapatkan pelukannya. Tubuh perempuan
itu terasa dingin, seperti daun dadap pengusir demam anak-anak. Wajahnya
membiru, bibirnya terkatup, matanya terpejam. Ayo, Sarti, jangan kaugoda aku
seperti malam-malam dulu! Digoyang-goyangkannya tubuh Sarti, tetap dingin dan
biru. Ditepuk-tepuknya pipinya, tak ada reaksi sedikit pun. Dipandanginya para
panjak. Sepi. Tak ada yang bergerak. Semua dingin dan biru. Seperti keramik
Cina.
Rumah kawin ini sudah menjadi rumah mayat,
pikirnya. Ia bopong Sarti keluar. Ia tinggalkan rumah kawin itu. Menerobos
hujan senja yang turun bagaikan lapis-lapis kelambu. Sepanjang jalan tak ada
orang. Pohon-pohon meliuk-mabuk, rumah-rumah bisu-merunduk. Ia susuri jalan
aspal, memotong sungai, membelah padang ilalang. "Kau tidak boleh mati,
sayang. Hiduplah bersama abang. Di rumahku kau akan hangat." Dikecupnya
bibir Sarti. Air liurnya yang bercampur air hujan masuk ke mulut Sarti. Si mata
burung hantu itu tersedak. Tubuhnya menggeliat. Tangannya meraih leher Mamat
Jago. Ia tersenyum dan mempercepat langkahnya.
Malam dan hujan pertama benar-benar telah
mengepung kampungnya. Dari kejauhan rumahnya yang terletak di tepi sawah bera
dengan pematang yang lurus memanjang tampak bagaikan lukisan yang luntur.
Namun, satu dua lampunya membangkitkan keriangan masa mudanya. Bukankah dulu
ketika masih berpacaran ia dan Masroh selalu berlarian di atas pematang sawah
begitu hujan pertama turun. Setelah basah kuyup oleh air hujan barulah mereka
mandi di sumur senggot yang airnya terasa lebih hangat daripada air hujan.
Buatnya, laku itu semacam perayaan untuk datangnya musim penghujan.
Sesampainya di rumah dibaringkannya Sarti di
ranjang. Di situlah dulu istrinya mengembuskan napas terakhirnya dengan tubuh
kurus kering. Mamat Jago melucuti seluruh pakaian basah dari tubuh Sarti dan
menyelimutinya dengan kain batik yang dulu pernah dipakai untuk menyelimuti
mayat istrinya. Dipandangi wajah Sarti yang tertidur pulas. Dalam keremangan
wajah itu berganti-ganti dengan wajah istrinya.
"Pacarku, biniku…."
Dikecupnya bibir Sarti. Bibir itu terasa
bergerak. Balas melumat. Tangannya perlahan mendekap. Napasnya mulai satu-dua.
Hangat, panas, gemuruh. Mamat Jago mendekapnya lebih erat lagi. Kini kehangatan
menjalari tubuh mereka berdua. Dalam sekejap mereka telah bergumul.
Memagut-mematuk-mengecup-merenggut- mencakar-mengular…terbakar. Tiba-tiba,
brak! Mamat Jago kaget dan melepaskan pelukannya. Eng Djin, si gondrong, dan si
cepak sudah berdiri di pelangkahan pintu. Buru-buru Mamat Jago meraih dan
mengenakan celana kolornya.
"Sadarlah, Bang. Sarti sudah mati,"
kata Eng Djin.
Mamat Jago menoleh. Sarti terbaring telanjang
kaku dengan sisa-sisa keringat yang meleleh di sela-sela payudaranya. Tak
percaya Mamat Jago menepuk-nepuk pipi Sarti. "Ayo, manis…bangun. Ada Koh
Eng Djin dan teman abang datang," bisiknya ke telinga Sarti.
"Relakan kepergiannya… Nyebut,
Bang."
Mamat Jago masih tak percaya. Ia
mengguncang-guncangkan tubuh Sarti. Kaku, dingin, biru seperti keramik Cina.
Tangisan pilu meledak dari mulutnya. Eng Djin tertegun menyaksikan lelaki
malang itu. Tanpa buang waktu si gondrong dan si cepak langsung membekuk Mamat
Jago. Dengan mudah mereka menggelandang Mamat Jago dan memasukkannya ke mobil
jip.
Sepanjang jalan kedua polisi yang diakui
sebagai temannya itu tak mencoba mengajaknya bicara. Semuanya membisu. Pikiran
Mamat Jago kembali pada Sarti. Benarkan Sarti sudah mati? Mungkinkah aku
menyenggamai mayat, ia membatin. Bukankah barusan Sarti membalas kecupan dan
pelukannya dan mereka bergumul hebat seperti di malam-malam dulu?
"Keluar lu!" Bentakan si gondrong
membuatnya ternganga. Mamat Jago tak punya lagi kuasa untuk menolak.
Si gondrong dan si cepak menggiringnya ke
sebuah tempat gelap. Kakinya menjejak pasir. Ada debur ombak. Kersik daun.
Serbuk garam yang menempeli bibirnya. Ia menduga-duga pantai apa ini. Mungkin
Tanjung Kait, Rawa Saban, Kamal, atau pantai yang belum pernah ia kunjungi.
Dorongan keras membuatnya tersandung akar bakau dan tersungkur. Butiran pasir
asin memenuhi mulutnya.
"Sejujurnya, Mat, kami tidak pernah
benar-benar berteman denganmu. Tugas kami adalah membasmi orang-orang yang
meresahkan masyarakat semacam kau. Dan kau sudah terlalu sering melakukannya.
Malam ini kami akan membuat hidupmu tamat," suara si cepak mengalahkan
deru ombak.
Dor! Dor! Dor!
Mamat Jago mengusap kepalanya. Tak ada darah.
Hanya air hujan! "Mimpi apa lagi ini?" katanya, heran. Ia bangkit dan
duduk di tepi balai bambu. Ditajamkan pendengarannya, rentetan tembakan itu
masih terdengar. Ah, ia tersenyum, rupanya hanya suara petasan dari rumah
kawin! Ia keluar. Hujan sudah mulai berhenti, tetapi air masih menggenang di
pelataran rumahnya. Begitu juga kenangannya pada Sarti, Eng Djin, si cepak, dan
si gondrong yang barusan hadir dalam mimpinya. Dan Sarti! Mengapa kau muncul
dalam mimpiku dengan cara seaneh itu, ia membatin lagi. Lama ia menafsir-nafsir
makna mimpinya itu.
"Ya, aku harus kembali ke rumah kawin
itu." Ia pun mengetuk-ngetukkan tumit kanannya ke lantai teraso, tiga
kali. Hatinya mantap. "Aku harus dapatkan lagi Sartiku, kesenangan, dan
kehormatanku.
Kembangan Selatan, Desember 2002
CATATAN:
COKEK: Tari pergaulan masyarakat Betawi
peranakan Cina.
WAYANG (Cokek): penari Cokek
PANJAK: pemain musik Gambang Kromong,
pengiring Cokek.
CUKIN: selendang untuk menarik para pengibing
NGIBING: menari
KALANGAN: tempat ngibing
TEH yan Betawi: instrumen gesek tradisional
berdawai dua.
Suatu Hari di Bulan Desember 2002
Post: 03/31/2003 Disimak: 161 kali
Cerpen: Sapardi Djoko Damono
Sumber: Kompas, Edisi 03/30/2003
DI rumah pemasyarakatan itu sempat timbul
ribut-ribut kecil ketika Marsiyam melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat
dan, menurut penilaian teman-teman di situ, sangat tampan. Sebelumnya tidak ada
seorang pun yang menyadari bahwa ada perempuan bunting di situ. Dan mungkin
tidak ada yang benar-benar yakin bahwa Marsiyam memang bunting sebelum
melahirkan. Berbagai jenis pikiran baik dan buruk beredar di bangunan yang
berdasarkan perhitungan akal sehat sudah tidak bisa menampung pesakitan lagi
itu. Tidak ada seorang laki-laki pun di situ, kecuali kepala penjara. Tapi, apa
ada alasan untuk mencurigainya sebagai bapak bayi itu? Rasanya tidak. Tampang
lelaki yang tak pernah tersenyum itu jauh dari selera perempuan mana pun.
"Tampangnya nyebelin," kata mereka. Dan tampang bayi laki-laki itu
minta ampun cantiknya.
M>small 2small 0< dikenai hukuman dua
tahun penjara sebab dituduh telah menganiaya suaminya, seorang lelaki yang
bekerja sebagai guru, yang-menurut sementara tetangga-"sudah sepantasnya
dianiaya," entah sebab apa. Mereka kawin sekitar tiga tahun dan belum
dikaruniai anak. Guru itu selalu menyalahkannya dan malah sering menuduhnya
telah berbuat serong dengan laki-laki lain. Marsiyam mula-mula menerima tuduhan
itu dengan tenang, bahkan dia yakin kecemburuan suaminya itu muncul justru
karena lelaki itu sangat mencintainya. Ia sadar dirinya cantik, dan tentunya
ada alasan juga bagi suaminya untuk memelihara rasa curiganya.
Sampai pada suatu sore ketika ia sedang
memasak untuk makan malam, ketika suaminya mendekatinya dan mendesakkan
pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan, yang menuduhnya telah berselingkuh
dengan seorang pemuda pengangguran yang suka membantu keluarga itu membetulkan
atap bocor atau kabel listrik yang korslet. Anak muda itu memang lumayan
tampangnya, dan sering berada di rumahnya ketika guru itu sedang mengajar.
Marsiyam meladeni rentetan pertanyaan suaminya dengan sabar, tetapi semakin
lama lelaki yang pendapatannya tak cukup untuk hidup layak itu menunjukkan
tampang yang semakin menyebalkan. Marsiyam menyekam kesabarannya, dan mendadak
bagaikan api kemarahannya berkobar. Ia ambil barang sekenanya di dapur itu,
dipukulkannya ke kepala suaminya yang langsung terkapar di lantai. Diinjaknya
tubuh yang tengkurap itu berkali-kali sambil menjerit-jerit, "Aku memang
tak bisa punya anak, mau apa kau. Aku memang gabuk, mau apa kau." Tetangga
pun berdatangan dan beberapa bulan kemudian ia harus duduk di kursi terdakwa
untuk mendengarkan keputusan hakim. Suaminya telah melaporkannya ke polisi
sehabis peristiwa di dapur itu.
TENTU saja penjara bukanlah tempat yang
diidam-idamkannya, tetapi di luar dugaan Marsiyam dengan cepat bisa menyesuaikan
diri dengan masyarakat yang aneh hubungan-hubungan antarmanusianya itu. Seperti
kampung saja, di situ ada ibu muda yang konon menganiaya madunya, ada tukang
copet yang suka beroperasi di ka-er-el, ada organisator berbagai arisan yang
menggelapkan uang puluhan juta, ada dokter yang kerja sambilannya menjual
narkoba, ada pengacara yang ketahuan menyogok jaksa, dan ratusan perempuan lain
yang entah profesinya. Marsiyam yang pendiam dan tidak banyak cingcong itu
diterima di kalangan mereka, bahkan oleh grup-grup yang biasanya bermusuhan.
Tidak ada yang mau percaya bahwa perempuan semacam itu telah tega memukuli dan
menginjak-injak suaminya, guru yang konon juga dikenal tidak banyak ulah.
Marsiyam tidak tahu alasan apa yang
menyebabkan perempuan-perempuan itu lebih suka memanggilnya Marsinah atau
Mariyam. Menurut mereka, nama Marsiyam susah diingat-suatu alasan yang
menurutnya pasti sekenanya saja. Dan selama ia di sana tidak pernah ada orang
yang menengoknya. Ia hanya menggelengkan kepala atau menunduk kalau ditanya,
"Kau tak ada keluarga, ya?" Atau, "Kau sudah dibuang keluargamu,
ya?" Ia menjalankan tugas rutinnya dengan tekun, tidak pernah membantah
sipir yang mana pun, yang beberapa di antaranya dianggap ganas oleh rekan-rekannya.
Sampai malam itu, ketika ia melahirkan seorang
bayi laki-laki yang sangat tampan. Tidak ada yang bisa yakin bahwa perempuan
muda itu pernah bunting. Tak pernah ngidam, tak pernah muntah-muntah. Perutnya
rata saja. Tapi tiba-tiba saja ada bayi keluar dari rahimnya. Tak ada seorang
pun di sana yang percaya pada mukjizat; mana ada orang jahat percaya akan hal
semacam itu? Tetapi pertanyaan yang beredar tetap sama, siapa gerangan yang
telah membuntinginya kalau bukan kepala penjara, satu-satunya lelaki di
bangunan itu yang boleh berhubungan dengan mereka? Tapi mereka tak percaya juga
akan hal itu. Sipir-sipir perempuan yang ganas itu pasti mengetahui
perselingkuhan semacam itu dan akan menggunduli lelaki yang rambutnya tinggal
beberapa lembar itu-tidak peduli ia atasan mereka atau bukan.
Marsiyam diberi kesempatan mendapatkan kamar
khusus untuk mendampingi bayinya sebab toh beberapa hari lagi masa hukumannya
akan habis. Tanpa dirasa, sudah dua tahun ia berada di dalam bangunan itu,
tanpa sama sekali pernah berhubungan dengan dunia luar. Dokter penjual narkoba
itu dengan bangga membantunya, juga tukang copet dan dedengkot arisan. Mereka
merasa mendapatkan kebahagiaan dengan membantu ibu muda itu.
Sore itu akhirnya tiba juga. Marsiyam harus
meninggalkan rumah pemasyarakatan karena masa hukumannya sudah habis, meskipun
ia tak merasa sudah dimasyarakatkan. Ia gendong bayinya sambil menenteng barang
bawaannya.
"Kau pulang ke mana Marsinah?" tanya
si gembong arisan.
"Entahlah."
"Kapan-kapan nanti aku boleh menjengukmu,
Mariyam? Kalau aku keluar nanti, tentu bayimu sudah besar, sudah sekolah,"
kata dokter yang harus meringkuk di bangunan itu bertahun-tahun lagi.
Marsiyam hanya tersenyum. Tidak memedulikan
penyebutan namanya yang selalu keliru itu. Ditatapnya bayi yang digendongnya
dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa wajahnya mirip lelaki muda yang
dulu suka membetulkan atap bocor dan kabel listrik yang korslet di rumahnya.
Perempuan itu menyimpan saja perasaannya, yang ia sendiri tidak tahu apa.
Selama dalam masa hukuman, ia memang pernah beberapa kali bermimpi bertemu
lelaki muda itu, yang katanya menjenguknya untuk meminta maaf lantaran telah
menyebabkannya masuk penjara. Ia selalu merasa bahagia setiap kali pemuda itu
muncul dalam mimpinya. Sejak semula ia tahu bahwa sebenarnya suaminyalah yang
mandul, tetapi ia tidak pernah mengatakan itu karena pasti akan menyinggung
perasaan dan menyebabkan guru itu semakin tidak masuk akal tuduhan dan
tindakannya.
Ia menoleh untuk terakhir kalinya kepada
rekan-rekannya ketika diiringkan oleh beberapa sipir keluar dari bangunan itu.
"KAU mau pulang ke mana, Marsiyam?"
tanya salah seorang sipir. Ia kaget mendengar namanya disebut dengan benar
untuk pertama kali sejak dua tahun yang lalu.
"Pulang."
"Ke mana?"
"Ke rumah."
"Rumah siapa?"
"Rumah suamiku. Ia pasti senang aku bisa
mendapatkan anak. Ini anaknya. Aku yakin ia akan menerima kami. Ini
anaknya." ***
Taman Perdamaian Hiroshima
Post: 03/23/2003 Disimak: 110 kali
Cerpen: Ganda Pekasih
Sumber: Kompas, Edisi 03/23/2003
HIROSHIMA, di ambang musim dingin, pukul 3
sore, aku tiba di Tobu Hateru, atau Tobo Hotel untuk beristirahat, mungkin
tidur beberapa jam di penginapan sederhana yang murah dan terjepit di antara
bangunan bangunan jangkung di tengah Hiroshima ini, bisa memulihkan tenagaku.
"Jangan lewatkan Hiroshima Peace Memorial Museum kalau kau masih punya
waktu di Hiroshima!" terngiang ucapan rekan sekantorku Akbar sebelum aku
meninggalkan Jakarta minggu lalu, kawan baikku itu pernah kuliah di Universitas
Hiroshima beberapa tahun yang lampau.S>small 2small 0< aku ingin kembali
secepatnya ke Indonesia, tapi sangat sayang kalau aku tidak menyempatkan diri
menjenguk sisa-sisa korban bom atom dan mengunjungi taman perdamaian, tempat di
mana bom atom meledak, bom yang kedahsyatannya merenggut hampir 250.000 jiwa
penduduk Hiroshima.Aku hanya tertidur beberapa jam, dan terbangun ketika di
ambang jendela hotel tampak langit Hiroshima berwarna kelabu menjelang malam.
Aku segera menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku keluar dari kamar dan turun
ke lobi, di kafe yang ada di lobi, aku memesan Cha, teh hijau khas Jepang dan
hamaagu, atau hamburger.Setelah menghabiskan teh dan hamburger, aku keluar dari
hotel, tapi ada seorang pria Jepang yang kulihat tadi duduk sendirian di pojok
kafe ikut keluar dan mengikutiku."Aku akan mengantarkanmu ke Gedung
Promosi Industri Hiroshima," katanya dengan ramah setelah dekat denganku,
dia tersenyum menampakkan gigi-giginya yang kuning dan sebagian tampak
hitam.Aku agak heran dengan ucapannya, untuk apa aku ke gedung yang tadi
diucapkannya itu? Aku tidak punya urusan dengan promosi industri."Gedung
itu satu-satunya gedung yang dibiarkan hancur sebagai saksi keganasan bom atom,
berada di Taman Perdamaian, kita bisa melihatnya ke sana sekarang, tapi sebelum
sampai di sana, ada baiknya kita singgah lebih dulu di Rumah Sakit Bom Atom
Hiroshima, tempatnya lebih dekat dari sini," tegasnya, dan kembali tersenyum.Dari
mana pula orang ini tahu rencanaku...? Dia pasti hanya menebak-nebak saja tadi,
mungkin juga karena hotel ini banyak disinggahi oleh turis yang mau pergi
ataupun pulang dari Taman Perdamaian, jadi dia sudah familiar. Mungkin juga...
karena dia memang mampu membaca pikiran orang. Usianya kutaksir 50 hingga 55
tahun."Mari ikuti saya," katanya ramah dan kembali
tersenyum."Baiklah," kataku.Aku pun segera mengikutinya. Dia
melangkah cepat melewati para pejalan kaki lainnya. Tanpa mencurigainya aku
hanya berkata dalam hati, beginilah manusia Jepang, serba cepat, fokus, dan...
menjadi raksasa dunia.Setelah melewati beberapa blok bangunan, si pria yang
belum sempat kutanyakan siapa namanya itu, tiba-tiba berbelok dan berhenti di
depan... Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima, dia menoleh ke arahku, wajahnya
terlihat samar, karena dia membelakangi lampu jalanan yang baru saja
menyala.Kami berjalan masuk."Rumah sakit ini dibuka bulan September 1956,
sebagai pusat penyembuhan orang- orang yang terkena radiasi bom atom, pengaruh
radiasi radioaktif menyebabkan leukimia, kanker, dan kebutaan," katanya.Di
dalam rumah sakit, aku agak tercengang dan merasa aneh. Suasana di dalam sangat
muram, asing. Berbeda dengan di luar yang modern dan terang- benderang. Di
salah satu dinding yang kulewati tergantung kalender bahasa internasional
disertai huruf kanji, 27 September 1956. Aku bertambah heran. Bagaimana mungkin
kalender dinding itu masih dipasang sekarang.Aku dan laki-laki itu masuk ke
sebuah bangsal, orang-orang jompo, laki-laki dan perempuan tampak sedang
bercakap-cakap dan membentuk kelompok, tapi ada juga yang sedang membaca dan
berbaring di tempat tidur."Sewaktu bom atom meledak, radiasi radioaktif
telah menjangkau sampai lima ribu meter dari pusat ledakan, ciri utama korban,
rambutnya gugur."Aku memperhatikan rambut orang-orang jompo yang tampak
memang sangat jarang itu, kesemuanya dibiarkan tidak terurus apalagi dipotong,
begitupun yang laki laki, panjangnya sudah sampai ke punggung. Dengan wajah
mereka yang tirus dan pucat, penampilan mereka jadi lebih
menyeramkan."Tapi penduduk yang berada dalam radius 1000 meter dari pusat
ledakan mengalami luka yang sangat berat dan seluruhnya meninggal dalam
beberapa hari."Laki-laki itu berbalik dan membawaku ke bangsal yang lain,
aku mengikutinya saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya."Sementara
Hiroshima masih terbakar waktu itu, dua hari kemudian, hujan turun. Hujan itu
berwarna kuning pekat kehitam-hitaman, seperti teh susu. Seluruh penduduk
Hiroshima kembali terkena radiasi, setiap orang yang meminum air dari sumur
sakit parut sampai berhari-hari."Aku mencoba mengangguk-anggukkan kepala,
tapi lidahku terasa kelu.Laki-laki itu kembali membawaku melihat ke bangsal
yang lain, kini kulihat bangsal yang berisi orang-orang yang usianya sama
denganku. Ya, sama denganku!? sebagian mereka terbaring dengan mata memandang
hampa ke langit-langit ruangan, sebagian lagi ada yang duduk dengan menundukkan
wajahnya, aku tercenung memperhatikan mereka, mereka masih muda.Guide dadakanku
kembali mengajakku ke bangsal lainnya lagi. Di sini banyak wanita yang sedang
hamil tua terbaring di tempat tidur, dan beberapa wanita hamil yang lain duduk
duduk di lantai sambil memunguti rambut mereka yang gugur dan mengumpulkannya
di tangan mereka. Dan di sebelah bangsal ini, yang dipisahkan dengan dinding
kaca, tampak puluhan anak kecil dan bayi-bayi dalam inkubator sedang dirawat
oleh beberapa orang suster.Aku nelangsa, trenyuh."Mereka terdiri dari
beberapa golongan, yang menderita langsung radiasi radioaktif ketika bom
dijatuhkan, disusul mereka yang kena seminggu kemudian, dan anak-anak kecil,
serta bayi dari ibu-ibu hamil."Aku masih memandangi bangsal berisi ibu-ibu
hamil yang sedang memunguti rambut mereka yang berguguran, ketika tiba-tiba
laki-laki itu bergerak meninggalkanku. Aku pun seperti tersadar dan cepatcepat
mengikutinya. Ternyata dia mengajakku ke luar dari rumah sakit ini lewat lorong
yang membelok ke samping. Tanpa berkata-kata, dia terus bergegas
meninggalkanku.Setiba di luar aku merasa lega."Hei... tunggu. Ada yang
aneh, sekarang tanggal 6 Januari 2003, bom atom jatuh di Hiroshima 6 Agustus
1945, bayi bayi di dalam rumah sakit itu mestinya sekarang sudah berusia 57
tahun, dan anak anak kecil itu sekitar enam puluh tahun, kenapa mereka masih
terus ada sampai sekarang?"Kudengar laki-laki itu tertawa, tapi dia tidak
menghentikan jalannya yang cepat itu."Seperti yang kukatakan di hotel
tadi, tidak jauh dari sini kita akan sampai di Taman Perdamaian, ada bangunan
yang masih dibiarkan tetap seperti ketika diterjang bom atom, dulu gedung itu
sebagai pusat Promosi Industri Kota Hiroshima," kilahnya malah
berpromosi.Aku akhirnya tetap mengikuti langkahnya, bahkan aku setengah berlari
untuk menyusulnya."Aku Hartoko. Anda!?""Oh... Harutoku,
Harutoku, nama yang baguuusss. Aku Siode Sadamitsu, aku lahir di
Hokkaido." Lengking suaranya."Tuan Siode..., siapa Anda yang
sebenarnya?""Aku hanya ingin mengantarmu, tapi waktuku tidak
banyak.""Aku tahu, tapi kau baik sekali.""Aku seorang
pendeta Buddha.""Oh... pendeta Buddha...."Dia terus berjalan
lincah, di antara kaki-kaki manusia pejalan cepat lainnya. Entah berapa lama,
setelah melewati beberapa bangunan, lorong dan beberapa pintu, dia membiarkanku
menyusulnya. Nafasku sedikit tersengal.Dia, Siode San, membukakan pintu belakang
sebuah gedung yang sekelilingnya agak gelap, kotor, dan berdebu. Rasa
penasaranku tentang apa yang akan ditunjukkan pendeta Buddha ini, seperti yang
diakuinya barusan kalau dia adalah seorang pendeta, membuat langkahku jadi
berani.Tapi, begitu tiba di dalam, aku terhenyak. Aku berdiri di tengah ruangan
yang hancur berantakan, beberapa mayat tertimpa reruntuhan gedung
bergelimpangan di sana-sini, tersiram cahaya remang lampu berwarna merah di
langit-langit ruangan, lantai penuh oleh simbahan darah kering berwarma hitam,
beberapa mayat yang lain ada yang hangus dengan kulit mengelupas. Siode San
tampak buru-buru menyalakan hio di ujung ruangan, seketika ruangan mulai
berasap dan tercium aroma wangi yang mengusir busuknya bau mayat dan amis
darah.Aku masih mencoba memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan ketika
tiba-tiba terdengar suara perempuan merintih dari salah satu arah tak jauh dari
tempatku berdiri, aku mendatangi arah suara perempuan itu, sesampainya di sana
kulihat separuh tubuh perempuan itu tertindih puing bangunan, aku mencoba
menolongnya sambil aku memanggil Siode San."Siode San, kemari!"Tapi
tak ada jawaban, teriakanku malah membuat perempuan itu berhenti merintih. Dari
arah pintu lain di sampingku, tiba-tiba Siode San muncul dengan kedua tangannya
menjepit beberapa tangkai Hio yang ujungnya menyala dan berasap
melingkar-lingkar mengikuti gerakan tangan Siode, aku segera menunjuk-nunjuk
mayat perempuan itu kepada Siode. Dengan kedua tangan disatukan di dadanya,
Siode lalu menjalankan ritual keagamaannya di dekat mayat itu.Aku harus segera
keluar dari tempat ini, pikirku. Aku ngeri, aku seperti berada di terowongan
kematian. Diam-diam kutinggalkan Siode San, aku melangkah mundur ke belakang.
Aku harus kembali ke pintu masuk kami tadi, tapi aku tidak bisa secepat yang
kuduga menemukan pintu itu, aku bergerak lagi ke balik reruntuhan tembok dan
dalam remang lampu berwarna merah, aku menemukan sebuah pintu yang tersiram
cahaya terang benderang yang dipancarkan dari arah luar. Aku bergerak cepat
keluar pintu cahaya itu. Setelah aku keluar dari pintu itu, aku tercengang. Aku
sudah berada di taman yang indah dan terang benderang, lalu kutunggu Siode
keluar menyusulku dari gedung yang rusak parah itu. Tak lama kemudian Siode San
muncul di pintu cahaya itu sambil tersenyum ke arahku.Kami sampai di Tobo Hotel
setengah jam kemudian dengan menumpang Densha, atau bis umum. Densha yang
rutenya melewati subway itu banyak berputar sebelum kami sampai di tujuan. Di
tengah perjalanan, aku tidak banyak bertanya tentang Rumah Sakit Bom Atom
Hiroshima atau Gedung Promosi Industri Hiroshima kepada Siode, aku membiarkan
dia menceritakan tempat tempat bersejarah yang kami lewati.Sampai di hotel,
Siode mengajakku duduk di tempatnya di pojok hotel tempat pertama kali dia
kulihat. Dia menawariku rokok yang ada di mejanya, dan aku mengambilnya
sebatang, dan menyalakannya."Harutoko... senang berkenalan dengan Anda,
temui kapan saja aku di sini. Masih banyak tempat yang belum Anda lihat. Aku
tinggal di hotel ini, aku suka mengantarkan orang- orang ke Taman Perdamaian
atau ke mana saja di Hiroshima ini," katanya sambil tersenyum.Aku membalas
senyumnya dan seperti lazimnya pemilik perusahaan di Hiroshima atau Jepang pada
umumnya, mereka biasanya memajang foto-foto mereka di setiap ruangan. Di
depanku duduk, aku baru tegas memperhatikan wajah Siode dalam bingkai foto
ukuran poster yang di bawahnya terdapat pedupaan, dengan hio yang menyala dan
wangi. Di bawah foto itu tertera tahun dan tanggal kelahiran. 6 Februari 1895-6
Agustus 1945.6 Agustus 1945... sekarang 6 Januari 2003.... Tiba-tiba aku ragu
untuk memandang Siode yang duduk di sebelahku, pandanganku terhalang oleh asap
rokok yang mengepul di udara, ketika asap rokok berkurang, aku melihat sosok
Siode lewat ekor mataku, bergerak ke arah bar. Diam-diam aku bergerak
meninggalkannya.PAGI hari, mentari bersinar cerah. Aku berada di taman
perdamaian, memandang ke satu-satunya bangunan yang tak karuan lagi bentuknya,
yang dibiarkan berdiri sampai sekarang sejak dihantam bom atom. Di bagian depan
bangunan itu, ada pintu cahaya. Nama bangunan itu dulu, betul seperti apa yang
dikatakan Siode San, Gedung Promosi Industri Hiroshima. Taman ini sungguh
indah, pohon-pohon tumbuh subur, berbunga, berbisik dengan angin dari segenap
cuaca dari musim yang datang. Ratusan ekor burung merpati beterbangan dengan
bebas, turis turis asing berjalan di sekitar, anak-anak, remaja, dan orang
dewasa, mereka memotret sambil bercakap-cakap. Dari Taman Perdamaian ini,
seharusnya aku ke Hiroshima Peace Memorial Museum seperti yang diingatkan rekan
sekantorku, Akbar. Di sana kita akan bisa melihat lebih lengkap dan lebih
mengerikan apa yang terjadi ketika itu, tapi aku sudah tidak ada waktu lagi ke
sana, aku harus kembali ke Jakarta, lagipula Siode Sansudah
mengajakkujalan-jalan. ***
Lelaki Beraroma Kebun
Post: 03/16/2003 Disimak: 144 kali
Cerpen: Linda Christanty
Sumber: Kompas, Edisi 03/16/2003
0 komentar:
Posting Komentar