Mbuh

Pages

Selasa, 15 Januari 2013

Kumpulan cerpen

Kumpulan Cerpen

Rumah Kawin 

 Post: 04/06/2003 Disimak: 250 kali

 Cerpen: Zen Hae 

 Sumber: Kompas, Edisi 04/06/2003 

  

 LAGU Cente Manis baru saja berakhir dari mulut Gwat Nio. Para wayang cokek sudah mengosongkan kalangan. Para panjak mulai membereskan alat musiknya masing-masing. Tetapi Mamat Jago masih saja berdiri sambil memeluk Sarti di tengah kalangan. Tangannya terus meremasi pantat Sarti dan menyorongkan mulut monyongnya ke mulut wayang bermata burung hantu itu. Sarti melengos dan berusaha mendorong tubuh Mamat Jago sekuat tenaga, tetapi dengan cepat Mamat Jago meraih tangan Sarti dan melipatkannya ke pinggangnya. Kali ini Mamat Jago menggoyang-goyangkan pinggangnya sambil terus menekan pantat Sarti. "Aih, jangan tinggalkan abang, manis. Jangan pampat kawah yang mau meledak ini. Ooohh ….Heh, panjak, gesekin gua lagu Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."

  

 TUKANG teh yan celingukan, juga pemain musik lainnya. Ini sudah jam dua pagi. Sudah waktunya rombongan Gambang Kromong Mustika Tanjung pimpinan Tan Eng Djin dari Teluk Naga berhenti main. Izin keramaian yang mereka dapatkan dari keamanan setempat hanya sampai pukul satu. Sudah lewat satu jam.

  

 "Heh, budek lu. Gua masih banyak duit. Gua mau nyawer lagi," teriak Mamat Jago sambil menuding-nuding para panjak yang masih saling bersambut pandang.

  

 Sarti kembali mengibaskan tangannya. Menarik tubuhnya dari pelukan Mamat Jago yang kian sempoyongan. Terlepas. Sebagai gantinya satu tamparan Mamat Jago mendarat di pipinya. "Sundal lu!" maki Mamat Jago sambil melempar cukin merah hati ke wajah Sarti. Sambil meringis dan meme-

  

 PEGANGI pipinya Sarti berlari ke arah wayang lain yang sejak tadi hanya bisa memandanginya dengan cemas.

  

 Ini sudah kelewatan, pikir Eng Djin. Anak buahnya memang boleh dipeluk, dicium, atau dibawa ke mana saja, tetapi pantang disakiti. Ia pun keluar dari sela-sela gong dan menghampiri pengibing mabuk itu. Merendengnya. "Maaf, kami harus berhenti, Bang. Kalau tidak cokek ini bisa digerebek polisi."

  

 "Jangan takut, Koh. Mereka semua teman saya. Ayo, main lagi. Saya akan mati kalau gambang berhenti. Ayo, panjak…"

  

 Bang Minan mulai menggesek teh yan-nya, tetapi segera Eng Djin menggoyang-goyangkan tangan kirinya. Sepi. "Mendingan abang pulang saja. Jangan bikin perkara…"

  

 "Sial dangkalan lu," maki Mamat Jago. Dengan sisa tenaganya disodoknya perut Eng Djin, tetapi ia menepiskan tangan itu. Mamat Jago balas menyerang dengan pukulan siku yang diruncingkan-gentus tubruk. Eng Djin jatuh terduduk. "Engkoh jangan melecehkan saya. Saya juwara kampung. Jago berantem. Semua orang bisa saya bikin takluk."

  

 Eng Djin bangkit dan mundur selangkah. Dipandanginya kepalan tangan Mamat Jago yang padat berisi. Empat belas jurus ilmu pukul memang masih dikuasainya, tetapi ia sadar, tidak mungkin menandingi kemahiran pukulan jawara kampung Rawa Lingi ini. Namun, ia akan melawan sebisanya kalau Mamat Jago melancarkan pukulan lagi. Itulah cara ia mempertahankan harga dirinya di depan anak buahnya. Ternyata, tidak. Mamat Jago hanya memasang jurus. Kuda-kudanya kelihatan goyah. Tubuhnya sedikit goyang.

  

 Tiba-tiba, dua orang berjaket kulit hitam, si gondrong dan si cepak, masuk ke kalangan. Eit, Mamat Jago mengalihkan kuda-kudanya ke arah dua orang asing itu. Mencoba lebih awas, ia kibas-kibaskan kepalanya. Si gondrong lantas mencabut revolver dari balik jaketnya dan mengacungkannya ke udara. Orang-orang terkesiap. "Bapak-ibu saya minta berhenti. Bubar!" perintahnya. Dengan sigap si cepak mencekal tangan Mamat Jago, memitingnya, memborgolnya, dan menyeretnya seperti sekarung tahi ayam.

  

 Entah sudah berapa Lebaran lewat setelah penangkapan itu. Sudah lama sekali, gumam Mamat Jago. Saat itu dengan mudah ia masuk-keluar sel. Ditangkap malam keluar pagi, ditangkap pagi keluar sore, ditangkap sore keluar malam. Anak-anak buahnya akan mengantarkan uang tebusan, tak lama setelah ia digelandang polisi. "Polisi teman abang," katanya berkali-kali kepada anak buahnya. Setelah itu ia akan dengan leluasa datang lagi ke rumah kawin, ngibing dan minum, membuat keributan bila perlu.

  

 Tetapi, itu dulu. Ketika kekayaan dan kehormatan didekapnya dengan dua tangan. Ketika bisnis penjualan kebun dan sawah di kampungnya sedang ramai-ramainya. Setiap saat orang datang dan pergi dari rumahnya. Membawa dan mengambil uang. Pekerjaannya sebagai calo tanah sangat sibuk kala itu. Pernah suatu ketika anak buahnya harus memanggul berkarung-karung uang ke rumahnya untuk membebaskan berhektar-hektar sawah yang kini menjadi bandar udara itu. Orang-orang kampungnya pernah berkata, ia tidur bukan di atas kasur kapuk, tetapi di atas kasur uang.

  

 Sekarang ini semuanya sudah lain. Kekayaan dan kehormatannya rontok sudah, seperti pohon kelapa disambar petir. Meranggas dan mati. Tanahnya yang dulu hektaran kini hanya tinggal sepekarangan saja, menciut bagai kelaras terbakar. Di atasnya berdiri rumah yang dulu pernah menjadi rumah termegah dan termahal di kampungnya-kini sudah menjadi sarang kumbang, ngengat, dan laba-laba. Kosong, kusam, sepi. Mobil, motor, dan kerbaunya sirna tak berbekas. Anak buahnya yang berjumlah puluhan sudah pergi meninggalkannya, entah ke mana. Masroh, istri yang tak pernah lagi disentuhnya sejak terkena TBC, wafat dua tahun lalu. Tiga anak perempuannya sudah dibawa suami mereka ke kota lain. Menjadi orang rantau. Satu anak lelakinya menjadi pengojek untuk menghidupi istri dan empat anaknya. Hanya ia dan si bungsu yang tinggal di situ.

  

 Ah, betapa perihnya kehilangan ini, keluhnya. "Apa ada obatnya?"

  

 Pekerjaan sebagai calo tanah sudah tidak dilakoninya lagi. Tidak ada lagi orang yang mau menjual kebun dan sawahnya. Tanah warisan mereka sudah habis terjual, tinggal yang kini mereka tempati. Dan itu tak mungkin mereka jual, kecuali kalau mereka mau menjadi gelandangan di kampung sendiri. Lahan-lahan yang tadinya menjadi sumber penghidupan mereka kini sudah berubah fungsi. Ratusan hektar sawah itu sudah dibikin rata tanpa pematang dan diberi pagar besi setinggi dua meter di tepinya. Di tengahnya membujur dua jalur landasan beton, dari barat ke timur. Ia dan orang kampungnya hanya bisa memandangi pesawat terbang yang lepas landas dan mendarat, hanya mereka yang pernah naik haji mampu menaikinya. Di malam hari pesawat-pesawat itu berubah menjadi kunang-kunang raksasa yang tubuhnya tetap berkelap-kelip meski melayang di batas langit terjauh.

  

 Pabrik-pabrik juga sudah beroperasi, siang dan malam. Siapa pun orang terkaya di kampungnya tidak mungkin membangun dan memiliki pabrik-pabrik itu. Mereka hanya petani penggarap dan pedagang kecil, tidak mungkin menguasai bisnis dan teknologi perpabrik- an secanggih itu. Tapi, anak-anak mereka, lelaki dan perempuan, si bungsu juga, senantiasa berbondong-bondong, keluar masuk pabrik, dengan seragam yang sama. Mereka sudah menjadi manusia pabrik yang mau tidak mau dibayar murah oleh tauke-tauke dari Korea, Jepang, dan Taiwan.

  

 Rumah-rumah mewah juga sudah dibangun dan ditempati orang-orang yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya. Mereka memang tidak mampu membeli dan menempati rumah mahal itu, tetapi mereka masih bisa menjadi pengojek di perumahan itu dengan motor yang dibeli dari hasil menjual tanah warisan mereka. Mereka masih bisa menikmati jalan aspalnya yang lurus-menyiku, sungai kecil yang jernih dan dibeton tepinya, taman yang indah, sambil memandangi rumah-rumah besar dengan pintu dan jendela yang melengkung. Ya, gonggong anjing, tentu saja.

  

 Ah, betapa menyesakkan kekalahan ini, keluhnya. "Aku butuh obat."

  

 Ia menarik napas dalam-dalam. Aroma tanah basah dibawa angin selatan melintasi padang ilalang setinggi pinggang. Hujan akan segera turun. Musim penghujan sudah tiba dan akan makin tinggi curahnya menjelang Tahun Baru Imlek! Ya, musim kawin orang Cina akan tiba juga. Rumah-rumah kawin di Kampung Melayu, Kosambi, Salembaran, dan Sewan akan ramai lagi. Ia rindukan semua itu.

  

 Ia datangi lagi rumah kawin "Teratai Putih". Semuanya masih seperti dulu. Orang-orang menyingkir begitu ia melintas. Dipasangnya langkap tegap seorang jawara kampung. Hanya di sinilah aku bisa menikmati lagi seluruh kesenangan dan kehormatan hidupku, pikirnya. Bukankah sudah bertahun-tahun belakangan ini ia tidak menikmati dua hal itu lagi. Ya, di sinilah orang akan memuji kelihaiannya ngibing yang dipadu dengan keindahan jurus-jurus pukulnya, kekuatannya menenggak berbotol-botol bir campur anggur, keroyalannya nyawer. Dan tubuh wayang yang panas dan memabukkan! Liukan dan goyangan yang membangkitkan syahwat! Aih, lelaki mana yang bisa tahan.

  

 Cukin merah hati sudah dikalungkan tukang cukin ke lehernya, tanda ia harus turun ke kalangan, memilih wayang mana yang ia suka. Ditatapnya Sarti yang sejak tadi duduk di pojok. Kali ini ia memakai kaus biru bergambar matahari di dadanya dan celana capri krem. Dengan pakaian itu ia tampak lebih muda dari usianya yang sebenarnya. Sedikit gemuk membuat lekukan-lekukan tubuhnya tampak nyata dibalut pakaian yang serba ketat itu. Darahnya berdesir. Ditariknya tangan wayang langganannya itu. Pengibing dan wayang lain sengaja hanya menonton, memberi penghormatan atas kembalinya si raja ngibing dari Rawa Lingi itu. Mamat Jago tersenyum bangga. "Ayo, panjak, gesekin gua lagu Ayam Jago. Gua mau ngibing lagi."

  

 Teh yan digesek, disusul gambang, kecrek, gong, suling, dan kempul. Susul-menyusul. Jalin-menjalin. Gwat Nio sudah melantunkan suaranya yang garing-melengking seperti suara burung titutit. Tapi Sarti tidak juga menggoyangkan tubuhnya. Tangannya dibiarkan terkulai. Mamat Jago meraihnya, melipatkannya ke pinggangnya, merapatkan pelukannya. Tubuh perempuan itu terasa dingin, seperti daun dadap pengusir demam anak-anak. Wajahnya membiru, bibirnya terkatup, matanya terpejam. Ayo, Sarti, jangan kaugoda aku seperti malam-malam dulu! Digoyang-goyangkannya tubuh Sarti, tetap dingin dan biru. Ditepuk-tepuknya pipinya, tak ada reaksi sedikit pun. Dipandanginya para panjak. Sepi. Tak ada yang bergerak. Semua dingin dan biru. Seperti keramik Cina.

  

 Rumah kawin ini sudah menjadi rumah mayat, pikirnya. Ia bopong Sarti keluar. Ia tinggalkan rumah kawin itu. Menerobos hujan senja yang turun bagaikan lapis-lapis kelambu. Sepanjang jalan tak ada orang. Pohon-pohon meliuk-mabuk, rumah-rumah bisu-merunduk. Ia susuri jalan aspal, memotong sungai, membelah padang ilalang. "Kau tidak boleh mati, sayang. Hiduplah bersama abang. Di rumahku kau akan hangat." Dikecupnya bibir Sarti. Air liurnya yang bercampur air hujan masuk ke mulut Sarti. Si mata burung hantu itu tersedak. Tubuhnya menggeliat. Tangannya meraih leher Mamat Jago. Ia tersenyum dan mempercepat langkahnya.

  

 Malam dan hujan pertama benar-benar telah mengepung kampungnya. Dari kejauhan rumahnya yang terletak di tepi sawah bera dengan pematang yang lurus memanjang tampak bagaikan lukisan yang luntur. Namun, satu dua lampunya membangkitkan keriangan masa mudanya. Bukankah dulu ketika masih berpacaran ia dan Masroh selalu berlarian di atas pematang sawah begitu hujan pertama turun. Setelah basah kuyup oleh air hujan barulah mereka mandi di sumur senggot yang airnya terasa lebih hangat daripada air hujan. Buatnya, laku itu semacam perayaan untuk datangnya musim penghujan.

  

 Sesampainya di rumah dibaringkannya Sarti di ranjang. Di situlah dulu istrinya mengembuskan napas terakhirnya dengan tubuh kurus kering. Mamat Jago melucuti seluruh pakaian basah dari tubuh Sarti dan menyelimutinya dengan kain batik yang dulu pernah dipakai untuk menyelimuti mayat istrinya. Dipandangi wajah Sarti yang tertidur pulas. Dalam keremangan wajah itu berganti-ganti dengan wajah istrinya.

  

 "Pacarku, biniku…."

  

 Dikecupnya bibir Sarti. Bibir itu terasa bergerak. Balas melumat. Tangannya perlahan mendekap. Napasnya mulai satu-dua. Hangat, panas, gemuruh. Mamat Jago mendekapnya lebih erat lagi. Kini kehangatan menjalari tubuh mereka berdua. Dalam sekejap mereka telah bergumul. Memagut-mematuk-mengecup-merenggut- mencakar-mengular…terbakar. Tiba-tiba, brak! Mamat Jago kaget dan melepaskan pelukannya. Eng Djin, si gondrong, dan si cepak sudah berdiri di pelangkahan pintu. Buru-buru Mamat Jago meraih dan mengenakan celana kolornya.

  

 "Sadarlah, Bang. Sarti sudah mati," kata Eng Djin.

  

 Mamat Jago menoleh. Sarti terbaring telanjang kaku dengan sisa-sisa keringat yang meleleh di sela-sela payudaranya. Tak percaya Mamat Jago menepuk-nepuk pipi Sarti. "Ayo, manis…bangun. Ada Koh Eng Djin dan teman abang datang," bisiknya ke telinga Sarti.

  

 "Relakan kepergiannya… Nyebut, Bang."

  

 Mamat Jago masih tak percaya. Ia mengguncang-guncangkan tubuh Sarti. Kaku, dingin, biru seperti keramik Cina. Tangisan pilu meledak dari mulutnya. Eng Djin tertegun menyaksikan lelaki malang itu. Tanpa buang waktu si gondrong dan si cepak langsung membekuk Mamat Jago. Dengan mudah mereka menggelandang Mamat Jago dan memasukkannya ke mobil jip.

  

 Sepanjang jalan kedua polisi yang diakui sebagai temannya itu tak mencoba mengajaknya bicara. Semuanya membisu. Pikiran Mamat Jago kembali pada Sarti. Benarkan Sarti sudah mati? Mungkinkah aku menyenggamai mayat, ia membatin. Bukankah barusan Sarti membalas kecupan dan pelukannya dan mereka bergumul hebat seperti di malam-malam dulu?

  

 "Keluar lu!" Bentakan si gondrong membuatnya ternganga. Mamat Jago tak punya lagi kuasa untuk menolak.

  

 Si gondrong dan si cepak menggiringnya ke sebuah tempat gelap. Kakinya menjejak pasir. Ada debur ombak. Kersik daun. Serbuk garam yang menempeli bibirnya. Ia menduga-duga pantai apa ini. Mungkin Tanjung Kait, Rawa Saban, Kamal, atau pantai yang belum pernah ia kunjungi. Dorongan keras membuatnya tersandung akar bakau dan tersungkur. Butiran pasir asin memenuhi mulutnya.

  

 "Sejujurnya, Mat, kami tidak pernah benar-benar berteman denganmu. Tugas kami adalah membasmi orang-orang yang meresahkan masyarakat semacam kau. Dan kau sudah terlalu sering melakukannya. Malam ini kami akan membuat hidupmu tamat," suara si cepak mengalahkan deru ombak.

  

 Dor! Dor! Dor!

  

 Mamat Jago mengusap kepalanya. Tak ada darah. Hanya air hujan! "Mimpi apa lagi ini?" katanya, heran. Ia bangkit dan duduk di tepi balai bambu. Ditajamkan pendengarannya, rentetan tembakan itu masih terdengar. Ah, ia tersenyum, rupanya hanya suara petasan dari rumah kawin! Ia keluar. Hujan sudah mulai berhenti, tetapi air masih menggenang di pelataran rumahnya. Begitu juga kenangannya pada Sarti, Eng Djin, si cepak, dan si gondrong yang barusan hadir dalam mimpinya. Dan Sarti! Mengapa kau muncul dalam mimpiku dengan cara seaneh itu, ia membatin lagi. Lama ia menafsir-nafsir makna mimpinya itu.

  

 "Ya, aku harus kembali ke rumah kawin itu." Ia pun mengetuk-ngetukkan tumit kanannya ke lantai teraso, tiga kali. Hatinya mantap. "Aku harus dapatkan lagi Sartiku, kesenangan, dan kehormatanku.

  

 Kembangan Selatan, Desember 2002

  

 CATATAN:

  

 COKEK: Tari pergaulan masyarakat Betawi peranakan Cina.

  

 WAYANG (Cokek): penari Cokek

  

 PANJAK: pemain musik Gambang Kromong, pengiring Cokek.

  

 CUKIN: selendang untuk menarik para pengibing

  

 NGIBING: menari

  

 KALANGAN: tempat ngibing

  

 TEH yan Betawi: instrumen gesek tradisional berdawai dua.

  

  

  

  

  

  

  

 Suatu Hari di Bulan Desember 2002 

 Post: 03/31/2003 Disimak: 161 kali

 Cerpen: Sapardi Djoko Damono 

 Sumber: Kompas, Edisi 03/30/2003 

  

 DI rumah pemasyarakatan itu sempat timbul ribut-ribut kecil ketika Marsiyam melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan, menurut penilaian teman-teman di situ, sangat tampan. Sebelumnya tidak ada seorang pun yang menyadari bahwa ada perempuan bunting di situ. Dan mungkin tidak ada yang benar-benar yakin bahwa Marsiyam memang bunting sebelum melahirkan. Berbagai jenis pikiran baik dan buruk beredar di bangunan yang berdasarkan perhitungan akal sehat sudah tidak bisa menampung pesakitan lagi itu. Tidak ada seorang laki-laki pun di situ, kecuali kepala penjara. Tapi, apa ada alasan untuk mencurigainya sebagai bapak bayi itu? Rasanya tidak. Tampang lelaki yang tak pernah tersenyum itu jauh dari selera perempuan mana pun. "Tampangnya nyebelin," kata mereka. Dan tampang bayi laki-laki itu minta ampun cantiknya.

  

 M>small 2small 0< dikenai hukuman dua tahun penjara sebab dituduh telah menganiaya suaminya, seorang lelaki yang bekerja sebagai guru, yang-menurut sementara tetangga-"sudah sepantasnya dianiaya," entah sebab apa. Mereka kawin sekitar tiga tahun dan belum dikaruniai anak. Guru itu selalu menyalahkannya dan malah sering menuduhnya telah berbuat serong dengan laki-laki lain. Marsiyam mula-mula menerima tuduhan itu dengan tenang, bahkan dia yakin kecemburuan suaminya itu muncul justru karena lelaki itu sangat mencintainya. Ia sadar dirinya cantik, dan tentunya ada alasan juga bagi suaminya untuk memelihara rasa curiganya.

  

 Sampai pada suatu sore ketika ia sedang memasak untuk makan malam, ketika suaminya mendekatinya dan mendesakkan pertanyaan-pertanyaan yang menyakitkan, yang menuduhnya telah berselingkuh dengan seorang pemuda pengangguran yang suka membantu keluarga itu membetulkan atap bocor atau kabel listrik yang korslet. Anak muda itu memang lumayan tampangnya, dan sering berada di rumahnya ketika guru itu sedang mengajar. Marsiyam meladeni rentetan pertanyaan suaminya dengan sabar, tetapi semakin lama lelaki yang pendapatannya tak cukup untuk hidup layak itu menunjukkan tampang yang semakin menyebalkan. Marsiyam menyekam kesabarannya, dan mendadak bagaikan api kemarahannya berkobar. Ia ambil barang sekenanya di dapur itu, dipukulkannya ke kepala suaminya yang langsung terkapar di lantai. Diinjaknya tubuh yang tengkurap itu berkali-kali sambil menjerit-jerit, "Aku memang tak bisa punya anak, mau apa kau. Aku memang gabuk, mau apa kau." Tetangga pun berdatangan dan beberapa bulan kemudian ia harus duduk di kursi terdakwa untuk mendengarkan keputusan hakim. Suaminya telah melaporkannya ke polisi sehabis peristiwa di dapur itu.

  

 TENTU saja penjara bukanlah tempat yang diidam-idamkannya, tetapi di luar dugaan Marsiyam dengan cepat bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat yang aneh hubungan-hubungan antarmanusianya itu. Seperti kampung saja, di situ ada ibu muda yang konon menganiaya madunya, ada tukang copet yang suka beroperasi di ka-er-el, ada organisator berbagai arisan yang menggelapkan uang puluhan juta, ada dokter yang kerja sambilannya menjual narkoba, ada pengacara yang ketahuan menyogok jaksa, dan ratusan perempuan lain yang entah profesinya. Marsiyam yang pendiam dan tidak banyak cingcong itu diterima di kalangan mereka, bahkan oleh grup-grup yang biasanya bermusuhan. Tidak ada yang mau percaya bahwa perempuan semacam itu telah tega memukuli dan menginjak-injak suaminya, guru yang konon juga dikenal tidak banyak ulah.

  

 Marsiyam tidak tahu alasan apa yang menyebabkan perempuan-perempuan itu lebih suka memanggilnya Marsinah atau Mariyam. Menurut mereka, nama Marsiyam susah diingat-suatu alasan yang menurutnya pasti sekenanya saja. Dan selama ia di sana tidak pernah ada orang yang menengoknya. Ia hanya menggelengkan kepala atau menunduk kalau ditanya, "Kau tak ada keluarga, ya?" Atau, "Kau sudah dibuang keluargamu, ya?" Ia menjalankan tugas rutinnya dengan tekun, tidak pernah membantah sipir yang mana pun, yang beberapa di antaranya dianggap ganas oleh rekan-rekannya.

  

 Sampai malam itu, ketika ia melahirkan seorang bayi laki-laki yang sangat tampan. Tidak ada yang bisa yakin bahwa perempuan muda itu pernah bunting. Tak pernah ngidam, tak pernah muntah-muntah. Perutnya rata saja. Tapi tiba-tiba saja ada bayi keluar dari rahimnya. Tak ada seorang pun di sana yang percaya pada mukjizat; mana ada orang jahat percaya akan hal semacam itu? Tetapi pertanyaan yang beredar tetap sama, siapa gerangan yang telah membuntinginya kalau bukan kepala penjara, satu-satunya lelaki di bangunan itu yang boleh berhubungan dengan mereka? Tapi mereka tak percaya juga akan hal itu. Sipir-sipir perempuan yang ganas itu pasti mengetahui perselingkuhan semacam itu dan akan menggunduli lelaki yang rambutnya tinggal beberapa lembar itu-tidak peduli ia atasan mereka atau bukan.

  

 Marsiyam diberi kesempatan mendapatkan kamar khusus untuk mendampingi bayinya sebab toh beberapa hari lagi masa hukumannya akan habis. Tanpa dirasa, sudah dua tahun ia berada di dalam bangunan itu, tanpa sama sekali pernah berhubungan dengan dunia luar. Dokter penjual narkoba itu dengan bangga membantunya, juga tukang copet dan dedengkot arisan. Mereka merasa mendapatkan kebahagiaan dengan membantu ibu muda itu.

  

 Sore itu akhirnya tiba juga. Marsiyam harus meninggalkan rumah pemasyarakatan karena masa hukumannya sudah habis, meskipun ia tak merasa sudah dimasyarakatkan. Ia gendong bayinya sambil menenteng barang bawaannya.

  

 "Kau pulang ke mana Marsinah?" tanya si gembong arisan.

  

 "Entahlah."

  

 "Kapan-kapan nanti aku boleh menjengukmu, Mariyam? Kalau aku keluar nanti, tentu bayimu sudah besar, sudah sekolah," kata dokter yang harus meringkuk di bangunan itu bertahun-tahun lagi.

  

 Marsiyam hanya tersenyum. Tidak memedulikan penyebutan namanya yang selalu keliru itu. Ditatapnya bayi yang digendongnya dan untuk pertama kalinya ia menyadari bahwa wajahnya mirip lelaki muda yang dulu suka membetulkan atap bocor dan kabel listrik yang korslet di rumahnya. Perempuan itu menyimpan saja perasaannya, yang ia sendiri tidak tahu apa. Selama dalam masa hukuman, ia memang pernah beberapa kali bermimpi bertemu lelaki muda itu, yang katanya menjenguknya untuk meminta maaf lantaran telah menyebabkannya masuk penjara. Ia selalu merasa bahagia setiap kali pemuda itu muncul dalam mimpinya. Sejak semula ia tahu bahwa sebenarnya suaminyalah yang mandul, tetapi ia tidak pernah mengatakan itu karena pasti akan menyinggung perasaan dan menyebabkan guru itu semakin tidak masuk akal tuduhan dan tindakannya.

  

 Ia menoleh untuk terakhir kalinya kepada rekan-rekannya ketika diiringkan oleh beberapa sipir keluar dari bangunan itu.

  

 "KAU mau pulang ke mana, Marsiyam?" tanya salah seorang sipir. Ia kaget mendengar namanya disebut dengan benar untuk pertama kali sejak dua tahun yang lalu.

  

 "Pulang."

  

 "Ke mana?"

  

 "Ke rumah."

  

 "Rumah siapa?"

  

 "Rumah suamiku. Ia pasti senang aku bisa mendapatkan anak. Ini anaknya. Aku yakin ia akan menerima kami. Ini anaknya." ***

  

  

  

  

  

  

  

 Taman Perdamaian Hiroshima 

 Post: 03/23/2003 Disimak: 110 kali

 Cerpen: Ganda Pekasih 

 Sumber: Kompas, Edisi 03/23/2003 

 HIROSHIMA, di ambang musim dingin, pukul 3 sore, aku tiba di Tobu Hateru, atau Tobo Hotel untuk beristirahat, mungkin tidur beberapa jam di penginapan sederhana yang murah dan terjepit di antara bangunan bangunan jangkung di tengah Hiroshima ini, bisa memulihkan tenagaku. "Jangan lewatkan Hiroshima Peace Memorial Museum kalau kau masih punya waktu di Hiroshima!" terngiang ucapan rekan sekantorku Akbar sebelum aku meninggalkan Jakarta minggu lalu, kawan baikku itu pernah kuliah di Universitas Hiroshima beberapa tahun yang lampau.S>small 2small 0< aku ingin kembali secepatnya ke Indonesia, tapi sangat sayang kalau aku tidak menyempatkan diri menjenguk sisa-sisa korban bom atom dan mengunjungi taman perdamaian, tempat di mana bom atom meledak, bom yang kedahsyatannya merenggut hampir 250.000 jiwa penduduk Hiroshima.Aku hanya tertidur beberapa jam, dan terbangun ketika di ambang jendela hotel tampak langit Hiroshima berwarna kelabu menjelang malam. Aku segera menuju kamar mandi. Selesai mandi, aku keluar dari kamar dan turun ke lobi, di kafe yang ada di lobi, aku memesan Cha, teh hijau khas Jepang dan hamaagu, atau hamburger.Setelah menghabiskan teh dan hamburger, aku keluar dari hotel, tapi ada seorang pria Jepang yang kulihat tadi duduk sendirian di pojok kafe ikut keluar dan mengikutiku."Aku akan mengantarkanmu ke Gedung Promosi Industri Hiroshima," katanya dengan ramah setelah dekat denganku, dia tersenyum menampakkan gigi-giginya yang kuning dan sebagian tampak hitam.Aku agak heran dengan ucapannya, untuk apa aku ke gedung yang tadi diucapkannya itu? Aku tidak punya urusan dengan promosi industri."Gedung itu satu-satunya gedung yang dibiarkan hancur sebagai saksi keganasan bom atom, berada di Taman Perdamaian, kita bisa melihatnya ke sana sekarang, tapi sebelum sampai di sana, ada baiknya kita singgah lebih dulu di Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima, tempatnya lebih dekat dari sini," tegasnya, dan kembali tersenyum.Dari mana pula orang ini tahu rencanaku...? Dia pasti hanya menebak-nebak saja tadi, mungkin juga karena hotel ini banyak disinggahi oleh turis yang mau pergi ataupun pulang dari Taman Perdamaian, jadi dia sudah familiar. Mungkin juga... karena dia memang mampu membaca pikiran orang. Usianya kutaksir 50 hingga 55 tahun."Mari ikuti saya," katanya ramah dan kembali tersenyum."Baiklah," kataku.Aku pun segera mengikutinya. Dia melangkah cepat melewati para pejalan kaki lainnya. Tanpa mencurigainya aku hanya berkata dalam hati, beginilah manusia Jepang, serba cepat, fokus, dan... menjadi raksasa dunia.Setelah melewati beberapa blok bangunan, si pria yang belum sempat kutanyakan siapa namanya itu, tiba-tiba berbelok dan berhenti di depan... Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima, dia menoleh ke arahku, wajahnya terlihat samar, karena dia membelakangi lampu jalanan yang baru saja menyala.Kami berjalan masuk."Rumah sakit ini dibuka bulan September 1956, sebagai pusat penyembuhan orang- orang yang terkena radiasi bom atom, pengaruh radiasi radioaktif menyebabkan leukimia, kanker, dan kebutaan," katanya.Di dalam rumah sakit, aku agak tercengang dan merasa aneh. Suasana di dalam sangat muram, asing. Berbeda dengan di luar yang modern dan terang- benderang. Di salah satu dinding yang kulewati tergantung kalender bahasa internasional disertai huruf kanji, 27 September 1956. Aku bertambah heran. Bagaimana mungkin kalender dinding itu masih dipasang sekarang.Aku dan laki-laki itu masuk ke sebuah bangsal, orang-orang jompo, laki-laki dan perempuan tampak sedang bercakap-cakap dan membentuk kelompok, tapi ada juga yang sedang membaca dan berbaring di tempat tidur."Sewaktu bom atom meledak, radiasi radioaktif telah menjangkau sampai lima ribu meter dari pusat ledakan, ciri utama korban, rambutnya gugur."Aku memperhatikan rambut orang-orang jompo yang tampak memang sangat jarang itu, kesemuanya dibiarkan tidak terurus apalagi dipotong, begitupun yang laki laki, panjangnya sudah sampai ke punggung. Dengan wajah mereka yang tirus dan pucat, penampilan mereka jadi lebih menyeramkan."Tapi penduduk yang berada dalam radius 1000 meter dari pusat ledakan mengalami luka yang sangat berat dan seluruhnya meninggal dalam beberapa hari."Laki-laki itu berbalik dan membawaku ke bangsal yang lain, aku mengikutinya saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya."Sementara Hiroshima masih terbakar waktu itu, dua hari kemudian, hujan turun. Hujan itu berwarna kuning pekat kehitam-hitaman, seperti teh susu. Seluruh penduduk Hiroshima kembali terkena radiasi, setiap orang yang meminum air dari sumur sakit parut sampai berhari-hari."Aku mencoba mengangguk-anggukkan kepala, tapi lidahku terasa kelu.Laki-laki itu kembali membawaku melihat ke bangsal yang lain, kini kulihat bangsal yang berisi orang-orang yang usianya sama denganku. Ya, sama denganku!? sebagian mereka terbaring dengan mata memandang hampa ke langit-langit ruangan, sebagian lagi ada yang duduk dengan menundukkan wajahnya, aku tercenung memperhatikan mereka, mereka masih muda.Guide dadakanku kembali mengajakku ke bangsal lainnya lagi. Di sini banyak wanita yang sedang hamil tua terbaring di tempat tidur, dan beberapa wanita hamil yang lain duduk duduk di lantai sambil memunguti rambut mereka yang gugur dan mengumpulkannya di tangan mereka. Dan di sebelah bangsal ini, yang dipisahkan dengan dinding kaca, tampak puluhan anak kecil dan bayi-bayi dalam inkubator sedang dirawat oleh beberapa orang suster.Aku nelangsa, trenyuh."Mereka terdiri dari beberapa golongan, yang menderita langsung radiasi radioaktif ketika bom dijatuhkan, disusul mereka yang kena seminggu kemudian, dan anak-anak kecil, serta bayi dari ibu-ibu hamil."Aku masih memandangi bangsal berisi ibu-ibu hamil yang sedang memunguti rambut mereka yang berguguran, ketika tiba-tiba laki-laki itu bergerak meninggalkanku. Aku pun seperti tersadar dan cepatcepat mengikutinya. Ternyata dia mengajakku ke luar dari rumah sakit ini lewat lorong yang membelok ke samping. Tanpa berkata-kata, dia terus bergegas meninggalkanku.Setiba di luar aku merasa lega."Hei... tunggu. Ada yang aneh, sekarang tanggal 6 Januari 2003, bom atom jatuh di Hiroshima 6 Agustus 1945, bayi bayi di dalam rumah sakit itu mestinya sekarang sudah berusia 57 tahun, dan anak anak kecil itu sekitar enam puluh tahun, kenapa mereka masih terus ada sampai sekarang?"Kudengar laki-laki itu tertawa, tapi dia tidak menghentikan jalannya yang cepat itu."Seperti yang kukatakan di hotel tadi, tidak jauh dari sini kita akan sampai di Taman Perdamaian, ada bangunan yang masih dibiarkan tetap seperti ketika diterjang bom atom, dulu gedung itu sebagai pusat Promosi Industri Kota Hiroshima," kilahnya malah berpromosi.Aku akhirnya tetap mengikuti langkahnya, bahkan aku setengah berlari untuk menyusulnya."Aku Hartoko. Anda!?""Oh... Harutoku, Harutoku, nama yang baguuusss. Aku Siode Sadamitsu, aku lahir di Hokkaido." Lengking suaranya."Tuan Siode..., siapa Anda yang sebenarnya?""Aku hanya ingin mengantarmu, tapi waktuku tidak banyak.""Aku tahu, tapi kau baik sekali.""Aku seorang pendeta Buddha.""Oh... pendeta Buddha...."Dia terus berjalan lincah, di antara kaki-kaki manusia pejalan cepat lainnya. Entah berapa lama, setelah melewati beberapa bangunan, lorong dan beberapa pintu, dia membiarkanku menyusulnya. Nafasku sedikit tersengal.Dia, Siode San, membukakan pintu belakang sebuah gedung yang sekelilingnya agak gelap, kotor, dan berdebu. Rasa penasaranku tentang apa yang akan ditunjukkan pendeta Buddha ini, seperti yang diakuinya barusan kalau dia adalah seorang pendeta, membuat langkahku jadi berani.Tapi, begitu tiba di dalam, aku terhenyak. Aku berdiri di tengah ruangan yang hancur berantakan, beberapa mayat tertimpa reruntuhan gedung bergelimpangan di sana-sini, tersiram cahaya remang lampu berwarna merah di langit-langit ruangan, lantai penuh oleh simbahan darah kering berwarma hitam, beberapa mayat yang lain ada yang hangus dengan kulit mengelupas. Siode San tampak buru-buru menyalakan hio di ujung ruangan, seketika ruangan mulai berasap dan tercium aroma wangi yang mengusir busuknya bau mayat dan amis darah.Aku masih mencoba memperhatikan mayat-mayat yang bergelimpangan ketika tiba-tiba terdengar suara perempuan merintih dari salah satu arah tak jauh dari tempatku berdiri, aku mendatangi arah suara perempuan itu, sesampainya di sana kulihat separuh tubuh perempuan itu tertindih puing bangunan, aku mencoba menolongnya sambil aku memanggil Siode San."Siode San, kemari!"Tapi tak ada jawaban, teriakanku malah membuat perempuan itu berhenti merintih. Dari arah pintu lain di sampingku, tiba-tiba Siode San muncul dengan kedua tangannya menjepit beberapa tangkai Hio yang ujungnya menyala dan berasap melingkar-lingkar mengikuti gerakan tangan Siode, aku segera menunjuk-nunjuk mayat perempuan itu kepada Siode. Dengan kedua tangan disatukan di dadanya, Siode lalu menjalankan ritual keagamaannya di dekat mayat itu.Aku harus segera keluar dari tempat ini, pikirku. Aku ngeri, aku seperti berada di terowongan kematian. Diam-diam kutinggalkan Siode San, aku melangkah mundur ke belakang. Aku harus kembali ke pintu masuk kami tadi, tapi aku tidak bisa secepat yang kuduga menemukan pintu itu, aku bergerak lagi ke balik reruntuhan tembok dan dalam remang lampu berwarna merah, aku menemukan sebuah pintu yang tersiram cahaya terang benderang yang dipancarkan dari arah luar. Aku bergerak cepat keluar pintu cahaya itu. Setelah aku keluar dari pintu itu, aku tercengang. Aku sudah berada di taman yang indah dan terang benderang, lalu kutunggu Siode keluar menyusulku dari gedung yang rusak parah itu. Tak lama kemudian Siode San muncul di pintu cahaya itu sambil tersenyum ke arahku.Kami sampai di Tobo Hotel setengah jam kemudian dengan menumpang Densha, atau bis umum. Densha yang rutenya melewati subway itu banyak berputar sebelum kami sampai di tujuan. Di tengah perjalanan, aku tidak banyak bertanya tentang Rumah Sakit Bom Atom Hiroshima atau Gedung Promosi Industri Hiroshima kepada Siode, aku membiarkan dia menceritakan tempat tempat bersejarah yang kami lewati.Sampai di hotel, Siode mengajakku duduk di tempatnya di pojok hotel tempat pertama kali dia kulihat. Dia menawariku rokok yang ada di mejanya, dan aku mengambilnya sebatang, dan menyalakannya."Harutoko... senang berkenalan dengan Anda, temui kapan saja aku di sini. Masih banyak tempat yang belum Anda lihat. Aku tinggal di hotel ini, aku suka mengantarkan orang- orang ke Taman Perdamaian atau ke mana saja di Hiroshima ini," katanya sambil tersenyum.Aku membalas senyumnya dan seperti lazimnya pemilik perusahaan di Hiroshima atau Jepang pada umumnya, mereka biasanya memajang foto-foto mereka di setiap ruangan. Di depanku duduk, aku baru tegas memperhatikan wajah Siode dalam bingkai foto ukuran poster yang di bawahnya terdapat pedupaan, dengan hio yang menyala dan wangi. Di bawah foto itu tertera tahun dan tanggal kelahiran. 6 Februari 1895-6 Agustus 1945.6 Agustus 1945... sekarang 6 Januari 2003.... Tiba-tiba aku ragu untuk memandang Siode yang duduk di sebelahku, pandanganku terhalang oleh asap rokok yang mengepul di udara, ketika asap rokok berkurang, aku melihat sosok Siode lewat ekor mataku, bergerak ke arah bar. Diam-diam aku bergerak meninggalkannya.PAGI hari, mentari bersinar cerah. Aku berada di taman perdamaian, memandang ke satu-satunya bangunan yang tak karuan lagi bentuknya, yang dibiarkan berdiri sampai sekarang sejak dihantam bom atom. Di bagian depan bangunan itu, ada pintu cahaya. Nama bangunan itu dulu, betul seperti apa yang dikatakan Siode San, Gedung Promosi Industri Hiroshima. Taman ini sungguh indah, pohon-pohon tumbuh subur, berbunga, berbisik dengan angin dari segenap cuaca dari musim yang datang. Ratusan ekor burung merpati beterbangan dengan bebas, turis turis asing berjalan di sekitar, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, mereka memotret sambil bercakap-cakap. Dari Taman Perdamaian ini, seharusnya aku ke Hiroshima Peace Memorial Museum seperti yang diingatkan rekan sekantorku, Akbar. Di sana kita akan bisa melihat lebih lengkap dan lebih mengerikan apa yang terjadi ketika itu, tapi aku sudah tidak ada waktu lagi ke sana, aku harus kembali ke Jakarta, lagipula Siode Sansudah mengajakkujalan-jalan. ***   

  

  

  

  

 Lelaki Beraroma Kebun 

 Post: 03/16/2003 Disimak: 144 kali

 Cerpen: Linda Christanty 

 Sumber: Kompas, Edisi 03/16/2003 

 HALIFA masih ingat wajah lelaki itu. Sepasang mata yang sipit, hidung pesek, dan bibir hitam terbenam di kepala yang kecil. Saat ia tertawa terlihat gigi-gigi yang tak rata, ompong, dan kerak nikotin menempel di celah-celah gusinya. Tapi, ia jarang tertawa. Hanya matanya yang sering berbinar melihat orang datang. Hidup sendirian di tengah kebun tentu sebuah pengorbanan. Ia senang dikunjungi dancepat-cepat menyuguhkanair putih serta bijur rebus atau buah keremunting yang hitam-manis pada tamunya, atau lebih tepat lagi, keluarga pemilik kebun.SUDAH LAMA p dan tersisa yang penting bagian menjadi itu lelaki lalunya, masa dari hilang telah banyak melihat pulang ketika Namun, kebun. penjaga si diingatnya saja sesekali rantau tanah Di pulang. tak Halifa < berharga.> Barangkali, rambut lelaki itu sudah memutih dan kerut-merut usia tua makin nyata. Daya ingatnya pun mungkin sudah menumpul. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi merah, belajar beranak-pinak, lalu renta dan pikun. Apakah masih juga dikenakannya topi kebun dari kain belacu lusuh itu? Mata sabitnya yang berkilau saat terayun ke batang lalang dan semak-belukar seakan hadir di depan mata. Kadangkala lelaki itu mengeluarkan suling dari tas resam dan memainkan lagu-lagu berirama Melayu. Ia punya radio transistor yang bisa menangkap siaran dari Malaysia. Radio model lama berbentuk roti bantal itu warisan kakek Halifa. Mungkin, bisa jadi obat sepinya. Halifa kecil tak urung bersiul-siul senang menimpali tiap nada yang berasal dari lubang-lubang suling si penjaga kebun.Apa pendapat lelaki itu saat melihatnya sekarang? Ia bukan lagi Halifa cengeng dan manja dulu. Ia kini tumbuh jangkung dan manis. Tanah rantau telah membesarkan otot-ototnya lewat kerja, meluaskan pikiran penghuni pulau kecil itu dengan pahit-getir pengalaman. Halifa tersenyum-senyum bangga.Sesungguhnya, ia lebih hafal pada aroma lelaki itu. Ya, ia seperti membaui aromanya lagi. Di belakang gazebo yang sudah berlumut, bayangan seseorang berkelebat dalam gerimis dan menghilang dibalik tapekong.Lelaki itu mengabdi hidupnya untuk gugur dan semi bunga pepohonan, melihat tunas tumbuh dan dahan tua tumbang. Ia menyiangi lalang dari tanah kebun, menabur kotoran ayam dan kambing di atasnya. "Biar gembur, tanah perlu makan," katanya kepada Halifa kecil.Pohon-pohon yang dirawatnya setiap hari pun membalas budi, menyerahkan aroma khas mereka kepadanya, sehingga si perawat tak bisa sembunyi dari siapa pun. Nasibnya seperti musang yang mengeluarkan wangi pandan. Embusan angin membawa aroma tubuh penjaga kebun ke rongga penciuman orang-orang yang berjalan di kejauhan, semacam pengumuman. Bila ada yang ingin menemuinya, ikuti saja aroma itu. Kalian akan sampai di hadapan lelaki yang menenteng sabit atau parang. Matanya tak pernah menyorot garang, mata orang yang mau menolong. Bila kalian ingin bertemu tuannya, yang punya kebun, ia akan berjanji menyampaikan pesan. Bila ada yang tersesat, ia akan tunjukkan jalan."Ke mana dia?" pikir Halifa, melajukan pandangan ke sudut-sudut kebun. Ia baru ingin melangkah ke pondok kecil beratap rumbia yang tersamar pohon-pohon lada tua ketika gerimis berganti hujan deras.Di balik awan gelap yang bergumpal, jari-jari petir putih bersinar. Halifa merapatkan jaketnya ke badan sambil berlari mencari tempat berlindung, kembali ke gazebo tadi.Kayu-kayu pelawan yang menyanggah bangunan itu telah lapuk. Warna coklat cat berubah kehitaman, mengelupas di sana-sini. Tembok yang dulu kokoh dan putih kini retak dan berlumut. Ia duduk di bangku batu yang lembab, mengusap wajahnya yang kena tempias hujan. "Kenapa dia lari?" batinnya. Mungkin, lelaki itu sudah tak ingat kepadanya lagi.Hampir lima belas tahun Halifa meninggalkan pulau ini, tempat kelahirannya. Lima belas tahun ia tak pernah pulang. Tapi, dua jam lalu, pesawat Fokker 100 milik sebuah maskapai lokal baru saja mengantarnya ke bandar udara yang makin kusam tak terawat, mengantarnya pulang. Hujan deras sudah menyambutnya di landasan. Sebelum mendarat, dua kali pesawat mengalami guncangan hebat yang membuat dinding-dindingnya berderak. Ia sempat berpikir betapa aneh dijemput maut dengan cara ini; berpulang saat kembali. Halifa sudah siap menarik rompi pelampung dari bawah kursi begitu keadaan darurat diumumkan. Ia tak mau mati. Ia belum bertemu ayah dan ibunya, belum ziarah ke makam kakek dan neneknya. Di seberang jendela, laut berwarna hijau tua terlihat tenang bagai obyek dalam lukisan. Pesawat malang ini berada di atas ketinggian 24 ribu kaki, pikirnya, gelisah. Barangkali, ia akan dimakan hiu, atau menjadi buih di samudra nanti. Tapi, perlahan-lahan tepi daratan mulai tampak, pesawat kembali stabil, dan rasa gusar Halifa berangsur lenyap.Semula ia ingin menyeberang ke pulau itu dengan kapal laut. Ongkosnya lebih murah dengan jarak tempuh cukup sehari semalam ke pelabuhan tujuan dan dari situ satu jam menumpang otokongsi ke rumah. Tapi, banyak teman menyarankan ia naik pesawat terbang. "Sekarang tengah musim angin kencang dan gelombang besar," kata mereka. Jadi, ia terpaksa mengubah rencana. Naik pesawat memang lebih mahal, juga lebih cepat. Huh, ternyata risikonya sama saja. Di laut terancam tenggelam, di udara terancam jatuh!Ia punya banyak ingatan tentang pulau ini, terutama debur ombaknya di malam hari. Dulu keluarganya tinggal dekat pantai. Bagi Halifa, debur ombak seperti nyanyian. Ia tidur nyenyak dalam buai bunyinya. Seringkali sepulang sekolah, setelah bertukar pakaian dan makan siang, ia dan adiknya, Malida, berlari ke pantai untuk mencari kulit-kulit lokan dan siput. Mereka biasa menemukan umang-umang yang menghuni bekas rumah-rumah siput, mengeluarkan binatang-binatang tadi dari dalamnya, mengikat kaki-kaki tajam-lancip tersebut dengan benang, lalu memacu mereka berlomba lari. Nenek selalu mengomel panjang-pendek melihat kelakuan cucu-cucunya yang nakal, "Jangan kau siksa binatang, nanti di neraka kau dibuat begitu pula oleh mereka." Apa iya? Mereka kan begitu imut.Di tengah malam ia kerap mendengar suara orang ribut di jalan muka rumah dan esok harinya nenek pasti bercerita, "Semalam itu ada orang ditangkap karena smokel. Makanya, kalau ke pantai harus ditemani Yu Sur atau Mang Cali. Kalau ada orang jahat, siapa yang tahu." Yu Sur, perempuan muda yang membantu memasak dan membereskan rumah. Mang Cali bekerja merawat taman dan mencuci mobil-mobil. Keduanya digaji bulanan oleh ayah Halifa.Nenek berpulang ketika Halifa kuliah semester pertama. Kakek sudah lebih dulu mangkat saat Halifa di taman kanak-kanak. Ia tak ingat lagi suasana pemakaman kakek di hutan dekat pantai itu, tapi ia pun tak bisa menyaksikan pemakaman neneknya. Keuangan ayah sedang menipis waktu itu. Biaya pulang perlu dihemat untuk biaya kuliah. Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja sedang terguncang. Harga timah dunia merosot dan korupsi besar di kalangan eselon atas mempercepat kebangkrutan perusahaan tersebut. Ribuan buruh mogok menuntut pesangon yang layak. "Sebagian besar hak pesangon mereka dimakan orang-orang itu," kisah ayah, di telepon. Ayah ikut mogok? Oh, tidak, Nak. Kenapa? Ayah bagian yang menunggu saja. Ah, ayah curang sekali. Jabatan ayah memang jabatan tanggung. Korupsi pun tak bisa besar. Berpanas-panas di terik matahari untuk meminta hak bersama buruh-buruh rasanya tak pantas. Makanya ayah harus punya prinsip, jangan menginjak ke bawah, menjilat ke atas macam pejabat bumiputra zaman kolonial. Ha-ha-ha …. Suara tawa ayah yang masih nyaring lumayan melegakan hati Halifa.Ayah mengirim Halifa merantau setamat sekolah menengah pertama. "Biar kau temukan nasibmu sendiri dengan berjuang di rantau," kata ayah. "Pulau kecil membuat pikiran juga tak seberapa luas," lanjut ayah, lagi. Ibu juga tak menangis, hanya memintanya menulis surat tiap minggu kalau tak punya uang menelepon ke rumah. Nenek memberi nasihat tentang menjaga diri, "Kau yang punya lubang kunci dan jangan biarkan anak kunci masuk ke situ." Halifa sempat terbahak, tapi perlahan-lahan ia paham. Malida kemudian menyusul Halifa. Mereka, perempuan kakak-beradik, berbagi nasib, jauh dari orangtua. Malida sempat pulang beberapa kali, tapi ia tidak. Entah kenapa, ia terus terseret dalam irama kota dan arus kerja yang mengikis rasa rindunya pada tanah kelahiran. Ia tak lagi merasa punya ikatan apa-apa dengan pulau ini, kecuali kenangan dan sejarah keluarga. Ayah dan ibulah yang lebih sering mengunjungi anak-anaknya kemudian.Kini rumah di tepi pantai sudah tak ada. Di atas puing-puing perumahan pejabat menengah itu telah berdiri kampus politeknik. Pantai yang berombak telah dipagari tembok-tembok tinggi. Perusahaan pertambangan tempat ayah bekerja ditutup dan sebagai gantinya, penduduk pulau membuka tambang-tambang liar, merusak sungai-sungai. "Ayah rasa buaya pun sudah tak ada di pulau ini. Semua sungai terpolusi," kisah ayah.Ayah dan ibu telah memutuskan pindah ke pedalaman, mendirikan rumah di kebun pusaka kakek, dekat perkampungan orang-orang Tionghoa. Penjaga kebun itulah yang selalu menarik perhatian Halifa sejak kanak-kanak, terutama hidupnya yang sendiri. Kata ayah, "Dia turut menyaksikan jatuh-bangun keluarga kita. Ayah sudah menganggapnya keluarga. Dia sudah ayah minta istirahat dan kembali pada sanak-saudaranya, tapi katanya dia tak punya keluarga lagi. Ayah suruh tinggal di rumah ini, dia memilih tinggal di rumah kebun." Lelaki itu mulai sakit-sakitan lantaran usia tua, tapi tetap bertahan dalam kebun mereka.Ayah telah menjalankan wasiat kakek. Sebelum meninggal, kakek berpesan agar ayah memperhatikan nasib penjaga kebun dan tak boleh menyia-nyiakannya.Hujan makin menderas. Pikiran Halifa mulai bercabang, antara berlari ke rumah atau ke pondok beratap rumbia. Tapi, ia ingin menuruti kata hati saja.Pintu pondok tertutup rapat, begitu pula tingkap-tingkapnya. Halifa mengetuk daun pintu yang basah. Tak ada sahutan. Permukaan kayu yang kasar tak bersugu terasa menusukbuku-buku jarinya.Ia mengetuksekali lagidan disertaisuara,"Atur ini Halifa." Aroma kebun dari dalam mengalahkan wangi tanah dan daun-daun di luar. Ia percaya si penjaga kebun ada di dalam. Tiba-tiba terdengar batuk kering dan suara orang bangkit dari ranjang kayu yang berkeriyut.Palang pintu ditarik, kemudian di ambang pintu muncul wajah yang lama dikenalnya. Lelaki itu kelihatan amat tua, dengan uban memenuhi kepala dan tubuh makin mengecil. Sepasang mata yang kuyu menatap Halifa bimbang."Ini Halifa, tuk. Atuk masih ingat Halifa kan? Halifa dengar atuk sakit," kata Halifa, lalu meraih dan menciumi punggung tangannya.Mata lelaki itu mulai berair. Ia meraih pundak Halifa dan mengajak si perempuan muda masuk ke rumah tanpa berkata-kata. Keadaan kamar tersebut belum berubah. Ranjang dan meja kayu, kompor minyak tanah, lemari pakaian dari plastik, dan panci-panci tergantung di dinding. Kini mereka berhadapan, orang upahan dan anak majikan."Sekarang belum musim keremunting," kata lelaki itu, seraya menuang segelas air untuk Halifa."Oh, dak ape-ape, tuk. Halifa cume nak mampir sebentar.Lame dak pulang. Semue lah berubah kata Halifa, seraya duduk di tepi ranjang."Benar. Banyak yang berubah. Nyai la dak ade. Yai kau ape agik. Papa kau pun la pensiun. Kebenaran kau pulang. Ade yang nak atuk cerite. Atuk ni la sakit-sakit terus, sebentar agik nak pulang ke tanah. Macam-macam sakit pun ade, dari pening, mengas sampai … mate ni la dak keliat agik la.Kau disitu pun,atuk dak bise nampak jelas,kabur lanjut lelaki tua itu, tertatih-tatih mendekati Halifa, membawa gelas air.Lelaki itu akhirnya mengungkap kisah yang mengguncang Halifa. Tentang sebuah keluarga yang tercerai-berai. Sepasang suami-istri merelakan bayi mereka yang baru berumur dua hari untuk diangkat anak oleh keluarga lain. Mereka tak sanggup membesarkan bayi itu lantaran kehidupan yang sulit di masa Jepang. Lima anak yang lahir sebelumnya harus menanggung penderitaan. Untunglah ada orang yang lebih mampu bersedia mengurus bayi mereka yang baru lahir. Selang beberapa minggu setelah putra bungsu mereka diserahkan, sang suami meninggal dunia akibat tuberculosa dan sang istri meninggalkan gubuk kecil mereka dengan lima anak kurus meringkuk lapar di dalamnya.Berminggu-minggu anak-anak tersebut ditinggalkan ibunya yang berharap ada orang kampung datang dan menyelamatkan mereka. Suatu hari ketika perempuan itu kembali untuk memastikan anak-anaknya telah diambil orang, ia menemukan lima mayat tergeletak di lantai tanah dan telah membusuk. Ternyata, pikiran yang kalut membuat si perempuan telah mengunci gubuk dari luar. Anak-anak itu terkurung di sana, tanpa mampu berteriak minta tolong. Perempuan itu tak sadarkan diri dan saat siuman ia sudah lupa pada siapa pun. Orang-orang kampung melihatnya berlari kencang ke dalam hutan sambil melolong. Setelah itu ia benar-benar senyap dari muka bumi. Barangkali, ia mati dimangsa ular atau buaya yang menghuni sungai.Putra bungsu suami istri yang malang tadi adalah ayah 

0 komentar:

Posting Komentar